Dua Pasang Hati

Selasa, 28 April 2015 - 09:00 WIB
Dua Pasang Hati
Dua Pasang Hati
A A A
Bahkan saat putus pun, keduanya hanya mengucapkan via sms. Keenan menghela napas. Gantian dia yang kini kehabisan kata-kata membalas ucapan sinis Lara, “Udah sana buruan turun.”

Cowok itu membuka pintu mobil Lara. Gadis itu pun turun dari mobil Keenan. “Thank you,” ucapnya tanpa senyum mengembang dibibirnya. Eh, yang diucapin malah dengan cueknya menaikkan kaca mobilnya dan langsung menancap gas mobilnya. Lara merengut sejadi-jadinya, setelah cowok itu hilang dari pandangan matanya. Ia membuka dengan paksa pagar rumahnya, lalu melangkah gontai ke depan pintu rumahnya.

Dengan kasar, Lara membuka pintu rumahnya, kemudian duduk di ruang tamu dengan dinding berwarna biru laut tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi tamu kemudian mengatur napasnya yang terengah-engah. Lara menutup matanya beberapa saat, ia merenungkan pertemuannya dengan Keenan kembali. Perasaannya masih tetap seperti dulu, begitu membenci pria yang sembilan tahun lalu menyakitinya. Sungguh, memandang wajah Keenan saja, Lara tak sudi.

Ini malah harus semobil dengannya. Anggap saja, muntahan Lara tadi merupakan balasan sakit hatinya bagi Keenan. Biar saja mobil dan bajunya kebauan karena muntahannya. Biar tahu rasa tuh si Keenan! Dua Lagi sendirian begini, membuat pikiran Lara terbang ke masa-masa SMA-nya, saat Lara dan Keenan pertama kali bertemu. Nggak seperti di film-film; nggak sengaja tabrakan, tuker-tukeran nomor hp, abis itu jadian.

Ah, basi! Pertemuan Keenan dan Lara bermula saat, ayah Keenan menghubungi ibu Lara dan mengundangnya ke acara reunian sekantor di perusahaan tempat mereka bekerja dulu. Waktu itu, semua tamu undangan bebas membawa keluarga mereka. Maka ibu Lara membawa dirinya, sementara ayah Keenan membawa cowok itu. “Ra, Mama mau kenalin kamu ke anaknya temen kantor Mama dulu,” ucap Mama Lara dengan semangat, sementara dirinya tengah make up.

“Siapa, Ma?” sahut Lara. “Inget…. Om Bara? Bara Bagaskara? Yang waktu kamu kecil, pernah ajak kamu ke Puncak, ke vilanya?” Lara memutar otaknya setengah mati demi mengingat memori di masa kecilnya. Maklum, Lara pelupa. “Nggak inget.” Mama Lara geleng kepala, “Ya ampun… kamu tuh masih muda gini aja udah pelupa sih, Sayang. Itu lho yang…” “Oh, Lara inget!” potong Lara tibatiba.

“Pasti yang Lara hilang waktu itu ya? Terus dicariin sama kakak-kakak yang rambutnya kayak mangkok itu?” Mama Lara terkikik. Anak lakilaki sulung Bara itu, waktu kecil memang memiliki model rambut unik. Rambutnya dipotong mengikuti bentuk wajahnya yang oval, dan berponi rata menyerupai mangkok.

“Iya… iya itu. Dia udah gede lho, sekarang. Ganteng banget, kamu pasti suka. Udah gitu, dia calon dokter lagi, Ra.” Mama Lara menerangkannya dengan bangga. Kayak pasti jadian aja sih? Kenal aja nggak, gumam Lara dalam hati. Lara memicingkan matanya pada sang ibu, “Aduh, Mama… masa anak seumur Lara ini masih dijodohin sih? Emangnya jaman Siti Nurbaya? Nggak ah. Lara nggak mau.”

“Mama nggak maksa kok, kalo emang kamu nggak suka ya sudah. Tapi kalo kamu kesengsem duluan sih… Mama nggak tanggung jawab, ya?” Mama beranjak pergi setelah mencolek pipi Lara. Kala itu, Lara mengisap jempol ucapan sang Mama. Mana mungkin dia jatuh cinta dengan si rambut mangkok itu? Ketemu gedenya aja belum. Setengah jam kemudian, Lara dan sang Mama beranjak pergi ke acara reuni tersebut.

Sesampainya di sana, Lara dikejutkan dengan kehadiran beberapa tamu undangan yang usianya hampir sebaya dengan sang bunda. Lah, kalo gini caranya… Lara bisa bete seharian, dong? Mereka semua saling bersalaman satu dengan yang lain. (bersambung)

OLEH:
VANIA M. BERNADETTE
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0725 seconds (0.1#10.140)